Dikutip dari http://www.modusaceh-news.com
Kecurigaan adanya “udang dibalik batu” dari bantuan Amerika Serikat untuk Aceh, bukanlah cerita baru. Berdalih mencari korban tsunami, negara itu mengoperasikan pesawat P-3 Orion, dengan empat mesin turboprop (balingbaling turbo), yang diterbangkan dari pangkalannya di Utapao, Thailand.
Dan, hasilnya Aceh memang dapat bangkit dari keterpurukan. Dari segi politik dan keamanan misalnya, kini betul-betul di atas awan. Masyarakat senang. Sektor ekonomi, perlahan-lahan mulai membaik.
Namun, selesaikah semua permasalahan? Tunggu dulu! Paska tiga tahun bencana menghantam negeri Serambi Mekkah, Aceh terlihat semakin seksi dan berisi di mata asing.
Terkuaknya berbagai potensi sumber daya alam yang melimpah, ditambah posisi strategis dari sisi geopolitik, Aceh menjadi target dari bangsa asing. Semua itu, semakin mentasbihkan kalau Aceh menjadi incaran lahan bisnis berbagai negara, khususnya Amerika Serikat. Pesawat P-3 Orion terbilang pesawat super canggih. Jenis pesawat ini dikembangkan oleh Lockheed untuk kepentingan militer AS. Dilengkapi berbagai peranti canggih untuk kepentingan pengintaian dan patroli jarak jauh. Sejatinya pesawat ini merupakan pesawat patroli jarak jauh anti kapal selam (antisubmarine warfare/ASW). Kelebihan pesawat ini, dilengkapi peranti sensor pelacak seperti directional frequency and ranging sonobuoys dan pelacak anomali magnetik (magnetic anomaly detection).
Sebagai sebuah pesawat pendeteksi dan patroli, P-3C Update III terbilang sangat canggih. Ia mampu menjalankan fungsi untuk pengamatan taktis, pengintaian, pendukung serangan udara, pendukung pasukan darat, dan pemberi peringatan, serta mendeteksi semua sinyal elektromagnetik untuk kepentingan analisis intelijen. Angkatan Laut AS sedikitnya memiliki sembilan pesawat jenis ini yang semuanya masuk skuadron patroli. Kelebihan lainnya, pesawat ini bisa memuat sekitar 20 ribu pon (9 metrik ton) peralatan perang yang ditempatkan di dalam dan luar pesawat. Namun, salah seorang perwira marinir AS Kapten J. Scott Jones saat itu beralasan, bahwa pesawat ini dilengkapi dengan perangkat sensor panas yang bisa melacak keberadaan korban tsunami yang masih terisolasi. Lewat pesawat inilah nantinya, data keberadaan dan lokasi korban akan dikirimkan ke kapal induk USS Bonhomme Richard atau USS Abraham Lincoln yang berlabuh di lepas pantai Aceh. Selanjutnya, rencana yang tak kalah seru adalah, beredar kabar kalau Amerika akan membangun pangkalan militer di Sabang sebagai bentuk kompensasi bantuan yang diberikan Amerika untuk Aceh. Pernyataan tersebut mencuat setelah Presiden Indonesia kala itu Abdurrahman Wahid mengatakan, AS akan membangun pangkalan militernya di Sabang sebagai bentuk kompensasi atas bantuan yang diberikan kepada Indonesia. Namun dengan cepat, Deputy Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Paul Wolfowitz, saat itu membantah pernyataan bahwa Amerika akan membangun pangkalan militernya di Sabang. Kata Paul, bantuan Amerika tidak menuntut kompensasi. “Tidak benar isu yang menyatakan akan dibangun pangkalan militer di Sabang,” kata Wolfowitz, waktu itu. Lantas, apa yang menjadi target AS? Sebagai daerah strategis dan punya sumber daya alam melimpah yang belum tergali.
Aceh selalu menarik perhatian dari Negara maju, salah satunya Amerika. Lalu bagaimana pula dengan bantuan kemanusiaan pemerintah Amerika Serikat yang telah diberikan kepada korban bencana alam Aceh. Apakah murni bantuan yang sifatnya humanity tanpa adanya kepentingan politik atau harus diwaspadai, ada misi ganda yang dapat mengancam Indonesia? Berpijak pada beberapa dimensi tentang adanya misi ganda atas kehadiran tentara AS dengan “niat sucinya” di Aceh, tentu kita harus merenung, dengan mencoba menakar kadar baik-buruknya. Meskipun demikian, harus diakui bahwa berprasangka buruk itu memang perbuatan yang kurang terpuji, tetapi tak ada salahnya jika prasangka itu merupakan wujud kewaspadaan demi keselamatan bangsa dan negara dari cengkeraman dan dominasi negara asing.
Alasan mengenai perlunya mewaspadai misi ganda Negeri Paman Syam dalam bantuan korban bencana alam Aceh tadi, juga dapat diperkuat dengan kenyataan histories tentang wajah kejam dan lunak yang ditampakkan bangsa Amerika. Stemphen Ambrose dalam tulisannya. “To Amerika” (2002) sebagaimana dikutip Baskara T. Wardaya (Kompas, 11/01/2005). Sejarawan kondang ini secara berapiapi menggambarkan sejarah Amerika sebagai episode yang penuh ironi dengan sejumlah tokohnya yang berwajah ganda. Bahkan bangsa Amerika, yang merupakan kumpulan orang-orang Eropa yang melarikan diri dari berbagai bentuk penindasan untuk menyelamatkan diri setelah sampai di negeri baru ini (Amerika), secara kejam melakukan penindasan terhadap orang-orang Indian yang lebih awal berada di tempat ini. Mencoba mengamati secara evaluatif terhadap bantuan pemerintah Amerika yang semula bernilai USD 15 juta, kemudian ditambah menjadi USD 35 juta hingga akhirnya mencapai USD 350 juta, belum lagi bantuan helikopter serta sejumlah pasukan militer yang katanya lebih profesional dalam penanganan masalah korban bencana. Setidaknya melahirkan pernyataan baru yakni ada apa di balik semua itu? Apakah tidak mungkin semua itu merupakan saham dan bentuk pengorbanan awal, dari sebuah rencana besar untuk mendapatkan untung dari Indonesia yang sejauh ini masih dianggap sebagai negara penuh teka-teki? Memperhatikan dampak positif dan kemungkinan efek negatif yang bakal ditimbulkan oleh sikap menyambut ramah uluran tangan Negara asing terutama AS dalam pemberian bantuan, kelihatannya memang sangat dilematis sehingga memerlukan berbagai studi intensif. Katakanlah Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sempat mengeluarkan statement bahwa bantuan AS itu tidak ada unsur politiknya.
Sekilas, pernyataan orang nomor satu di republik ini, memang pantas untuk didengar. Hanya saja, dapatkah SBY memberi garansi dan jaminan tentang tidak adanya dampak negatif yang mengiringi berbagai bantuan tadi. Termasuk, dengan kehadiran kekuatan militer AS sekarang di Indonesia. Padahal, beberapa waktu lalu sempat ditolak kehadirannya dalam kaitan dengan penanganan masalah terorisme. Dalam istilah lain, pengenalan terhadap seluk beluk wilayah Tanah Rencong ini, dari segi politik merupakan modal berharga seandainya suatu ketika negara sang penakluk ini berubah wajah menjadi bengis dan memposisikan Indonesia sebagai target ambisi politiknya.
Terlepas dari apakah benar atau tidak tentang adanya misi ganda dan kepentingan rangkap pemerintah AS dalam hubungannya dengan berbagai bantuan terhadap korban bencana alam Aceh. Yang pasti, kewaspadaan dan keekstrahati-hatian setidaknya merupakan upaya preventif terhadap segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Hanya saja, yang tidak kalah pentingnya adalah, mengapa mesti pihak AS yang justru memegang peranan penting dalam pemberian bantuan ke Aceh? Bukankah daerah ini dikenal sebagai Serambi Mekkah? Logikanya, negara-negara Arab-lah, yang memiliki kekayaan berlimpah, yang harus memegang peranan penting dalam pemberian bantuan kemanusiaan, saat Aceh dihantam gempa dan gelombang tsunami yang maha dahsyat itu. Entahlah.***
No comments:
Post a Comment